Selasa, 08 Februari 2011

Terbentuk Paguyuban Baru Untuk Pedagang Angkringan 'Surjan'

Jogja/ 24 Mei 2004
Paguyuban 'Surjan' (Suryatmajan dan Pajeksan-red) merupakan kumpulan para pedagang angkringan yang beberapa waktu lalu dengan sukarela direlokasi di Jl. Suryatmajan. Paguyuban Surjan yang beranggotakan sekitar 30 pedagang ini siap mendukung Pemkot Yogyakarta untuk mengadakan penataan PKL Angkringan.

"Kami Siap Mendukung Penataan Pedagang Kaki lima demi Wujudkan Kota Jogja yang Bersih, Sehat, Indah dan Nyaman" merupakan tulisan dekor dalam peresmian paguyuban padagang angkringan Suryatmajan-Pajeksan yang disingkat 'Surjan' yang dilakukan oleh Herry Zudianto Walikota Yogyakarta dan Syukri Fadholi Wakil Walikota (Wawali) Yogyakarta Jumat (21/5) malam. Semboyan tersebut merupakan bentuk dukungan Pemkot dalam menata kembali PKL angkringan. Prosesi peresmiannya sendiri ditandai dengan penyalaan lampu ting yang dilakukan oleh Walikota dan Wawali Yogyakata didampingi Ketua paguyuban Surjan Nur Hidayat di Jl. Suryatmajan.

Dukungan tersebut juga disampaikan oleh pemuda Suryatmajan yang disampaikan oleh Mas Kuntho ketua pengamanan wilayah setempat. "Pemuda dan warga setempat sangat mendukung penataan PKL angkringan dengan tendanisasinya. Penataan ini merupakan suatu gerakan moral yang dapat memberikan spirit dan semangat kepada para pemuda setempat untuk ikut membangun wilayahnya seperti yang dikerjakan oleh para pedagang angkringan, tukasnya. Kuntho menambahkan, hal tersebut merupakan gerakan moral bagi pemuda yang ada diwilayah Suryatmajan dan Pajeksan secara khusus.

"Orang lain bisa demikian kenapa pemuda di sini kok tidak bisa. Ini suatu contoh bagi kami, terus terang kami sangat bersyukur dengan adanya gerakan ini,' ungkap Kun yang juga menjabat sebagai ketua RT. Ada harapan dari Kuntho agar para PKL angkringan bersama warga setempat menjaga kebersihan lingkungan di sekitar area jualannya dan menjaga keakraban dengan tetap berkomunikasi dengan warga sekitarnya.

Syukri kembali menegaskan bahwa Pemkot Yogyakarta akan selalu memperhatikan kehidupan para pedagang Kaki lima angkringan. "'Perhatian Pemkot ini sebagian sudah diwujudkan dalam bentuk pengadaan tendanisasi dan akan menyusul gerobak," ungkapnyai. Syukri melanjutkan, moment peresmian paguyuban Surjan ini merupakan kebersamaan antara Pemkot dengan para pedagang angkringan dan penduduk untuk bisa menciptakan situasi kehidupan yang baik dalam rangka mencari mata pencaharaian bersama-sama.

"Sebagai yang telah kita lihat Walikota dan kami semua mempunyai atensi yang cukup kuat, tidak begitu saja menata neng ora tanggung jawab. Tetapi dengan adanya tenda yang ada ini menunjukkan awal mula perhatian Pemkot terhadap teman-teman angkringan semua," tegasnya. Ia mewakili Pemkot menjanjikan keamanan kepada para pedagang angkringan sehingga mereka dapat melakukan aktivitasnya dengan baik.

Sedangkan Herry Zudianto mengatakan semenjak dilantik menjadi Walikota dan wakil Walikota jogja, dengan segala sumber daya yang ada di Kota ini mau meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. "Di satu sisi juga harus benar-benar mengakomodasi semua kepentingan dan kepentingan yang ada di kota ini sangat banyak namun dibatasi oleh kekayaannya," lanjutnya.

Menyinggung masalah kaki lima, Walikota menegaskan bahwa keberadaan kakalima yang ada di kota Jogja diakui secara hukum sebagaimana usaha-usaha lain. "Hal ini terbukti dengan diterbitkannya Perda tentang Pedagang Kaki lima, yang mengatur hak dan kewajiban PKL," ungkap Herry. Menurut Walikota, kalau berbicara tentang pengakuan selalu ada hak dan kewajiban. Ini berlaku bagi semua bidang usaha termasuk PKL. Perkembangan PKL angkringan menurut Herry akan selalu dipantau dan Pemkot akan terus memberikan dukungan.

PKL menurut Herry sama dengan komunitas lain yang sewaktu - waktu bisa berdialog, mengajukan aspirasi dalam rangka perbaikan bersama. "Jangan sampai ada orang yang punya kepentingan lain menggagu kepentingan Bapak ibu sekalian. Kita yang cari makan di sini, mungkin kepentingan orang itu… dan tau-tau nanti pergi orangnya..akan ninggalkan masalah. Apa iya mereka yang akan selamanya disini? Kitalah yang akan selamanya di sini," tegas Herry.

Untuk mendukung usaha mereka , Para PKL meminta agar fasilitas seperti air bersih, bak sampah, dan MCK dapat dilengkapi. Selain itu juga agar di daerah PKL angkringan dipasang Papan Penunjuk agar para pembeli tahu keberadan mereka. Menaggapi hal ini, Walikota setuju dan akan segera memerintahkan stafnya. Hadir pada acara itu ketua Pemalni, ketua PPKLY, dan Paguyuban Pemandu Asing Malioboro. (antok-gudegnet)


sumber: http://jogjanews.blogspot.com/2004_05_01_archive.html

Dua Warnet Diajukan Ke Pengadilan karena Penyalahgunaan

Selasa, 10 Agustus 2004, 00:00 WIB

PENERTIBAN WARUNG INTERNET YANG DISALAHGUNAKAN seperti misalnya digunakan untuk melakukan kegiatan mesum, benar-benar dilakukan oleh dinas terkait dari Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta. Hasil dari penertiban tersebut, ditemukan dua warnet tertangkap basah mendapatkan kegiatan mesum yang dilakukan oleh user di salah satu bilik warnet. Dua warnet tersebut pada tindak lanjutnya akan diajukan ke pengadilan. Hal tersebut diungkapkan oleh Syukri Fadholi Wakil Walikota (Wawali) Yogyakarta kepada wartawan di kantornya pada Senin (9/08) siang.

Syukri mengatakan bahwa pihak pemerintah tidak akan lengah dan akan melakukan penertiban di warnet-warnet yang diindikasikan melakukan kegiatan mesum. Tidak hanya masalah perizinan usaha saja yang akan ditertibkan, menurut Syukri, desain ruangan juga akan tertibkan dengan meminta sekat-sekat yang terbuka atau transparan sehingga tidak mencolok atau menimbulkan praduga negatif atau pengakses lain.

Bagi Irfan Susilo Kasie Penegakan Perundang-Undangan Kota Yogyakarta, dari penertiban warnet tahap pertama ada dua warnet yang terjaring. Kedua warnet yang kena penertiban itu adalah Widya Intersat Nusantara di Timoho dan Baciro Net di kawasan Baciro. “Widya memiliki HO tetapi izin pariwisatanya tidak ada sedangkan BaciroNet baik HO maupun izin pariwisatanya tidak ada,” kata Irfan kepada wartawan secara terpisah.

Dijelaskan Irfan dengan adanya pelanggaran itu maka keduanya kemudian langsung ditipiring. Seperti diberitakan sejumlah ormas Islam mendesak pemkot Jogja untuk melakukan pemberantasan penyakit masyarakat (pekat) secara optimal. Ormas Islam yang kemarin mendesak pemkot itu diwakili oleh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbul Tahrir Indonesia (HTI), Gerakan Anti Maksiat (GAM), Hidayatullah, Forum Pemuda Islam (FPI), Forum Remaja Masjid Kotagede dan Forum Silaturahmi Remaja Masjid Yogyakarta (FSRMY).

Salah satu yang dipersoalkan adalah maraknya internet yang disalahgunakan untuk membuka situs porno, dan perbuatan mesum oleh pengunjung di salah satu warnet yang memiliki sekat cukup luas dan tertutup cukup tinggi.

sumber: http://gudeg.net/id/news/0/news/2007/07/news/2004/08/2618/Dua-Warnet-Diajukan-Ke-Pengadilan-karena-Penyalahgunaan.html

Wawali Kecam LSM, PKL Demo Penggusuran

Jogja/ 26 April 2004
Maksud hati pengin melakukan aksi anti penggusuran, namun justru kecaman yang diperoleh. Setidakya itu yang terjadi dalam aksi anti penggusuran yang dilakukan sekitar 50 pedagang kaki lima di Balai Kota Jogja.

Kecaman itu dilontarkan oleh wakil wali kota Jogja Syukri Fadholi terhadap LSM pendamping aksi itu. Wawali kecewa dengan LSM pendamping karena dalam aksi selama 2 jam itu, mereka menggunakan kata-kata kotor serta tidak pantas untuk menyuarakan aksinya. “LSM pendamping kaki lima saya beri peringatan keras untuk bisa berlaku etika bermoral ungkap dengan simbol kata-kata jorok tidak pantas dilakukan mereka itu semua,” kata wawali ketika dikonfirmasikan mengenai masalah demo yang dilakukan PKL itu.

Demo itu sendiri mulai dilakukan sekitar pukul 09.00. Peserta aksi sendiri merupakan gabungan dari Paguyuban Pedagang Kaki Lima Roso Manunggal Pasar Beringharjo Jogja dan Paguyuban Pedagang Angkringan Malioboro, dengan menggelar aksinya di depan Air Mancur Kantor Wali Kota Jogja Kompleks Balai Kota. Selain bergantian berorasi mereka juga membawa beberapa poster yang bertuliskan, Tolak Perda Penggusuran, Jualan Digusur Kami Makan Apa? Pejabat Jangan Sok Tahu, Lapangan Kerja Nggak Ada Jualan Digusur Lagi oleh Pemkot.

Nampak dalam aksi itu Kepala Dinas Pasar Haryo Jarot Santoso, Kepala Dinas Ketertiban Drs Widodo dan Kepala Dinas Perekonomian Sukirno SE. Hanya saja para peserta aksi enggan ditemui mereka, para peserta aksi ingin langsung bertemu dengan wali kota Herry Zudianto. “Kita ingin ketemu wali kota, karena kalau ketemu selain wali kota kita sudah tahu jawabannya, kita tidak perlu lama-lama 10 menit saja cukup,” terang Ali dari angkringan Malioboro.

Namun hingga aksi selesai mereka hanya berorasi di halaman kantor wali kota tanpa dialog dengan salah satu pejabat pemkot. Sebelum membubarkan diri, mereka membacakan pernyataan sikapnya. Menurut Humas Aksi, Sarini, mereka menolak penggusuran serta relokasi yang dilakukan pemkot Jogja. Mereka menuntut untuk bisa berjualan di tempat semula, yaitu di sebelah Barat bagi pedagang angkringan dan disebelah Utara Jalan Pabringan pasar Beringharjo bagi PKL Roso Manunggal. “Kami juga menuntut pencabutan perda No 26 tahun 2002 tentang penataan PKL karena tidak berpihak kepada rakyat kecil, melanggar HAM dan bertentangan dengan UUD 45,” kata Sarini.

Para PKL jhuga menuntut dibubarkannya lembaga buatan pemerintah kota yang bertujuan memecah belah PKL. “Membangun persatuan sektor kaum miskin perkotaan dengan sektor lainnya seperti mahasiswa, buruh petani, kaum perempuan LSM dan organisasi lain yang senasib sepenanggungan.”

Sementaran itu, pemkot Jogja tidak akan gentar dalam hal pentertiban meski ada demo yang dilakukan PKL. Menurut wawali, pihak pemkot selama ini tidak pernah melakukan penggusuran, yang dilakukan pemkot adalah penataan. “Selama ini kita melakukan penataan dan penggeseran,” jelas wawali. (oto-radja)

sumber : http://jogjanews.blogspot.com/2004/04/wawali-kecam-lsm-pkl-demo-penggusuran.html

PPP AKAN MERAPAT KE PAN ; Syukri Siap Dampingi Hanafi

YOGYA (KR) - HM Syukri Fadholi, tokoh dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang juga mantan wakil walikota (wawali) menyatakan kesiapannya menjadi bakal calon (balon) wawali dalam Pemilukada Kota Yogyakarta 2011 mendatang. Tidak tanggung-tanggung, ia bahkan bersedia mendampingi Hanafi Rais tokoh yang disebut-sebut diusung oleh Partai Amanat Nasional (PAN).
“Saya merasa hal ini merupakan tugas berat yang harus diemban oleh manusia sebagai umat beragama. Ini amanah. Dan sepanjang dibutuhkan masyarakat saya siap mengemban amanah ini. Bagi saya posisi atau jabatan bukanlah ukuran dan kita tidak boleh memilih. Jadi jika itu merupakan keinginan elemen masyarakat, Insya Allah saya siap,” tutur Syukri Fadholi kepada wartawan, Jumat (22/10).
Terhadap niat tersebut, ia sebagai kader dari partai bakal menyerahkan sepenuhnya segala keputusan ditangan partai.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PPP Kota Yogyakarta, Fachrudin AM menyatakan pihaknya cukup tahu diri untuk tidak mengusung balon walikota. Meski begitu tetap akan mempersiapkan balon yang akan diusungnya menjadi balon wawali yakni Syukri Fadholi.
“Selama ini kami intensif melakukan komunikasi dengan parpol lain. Namun yang paling intensif dengan PAN. Sedangkan ada beberapa tokoh dari PPP yang kami rasa mumpuni dan layak untuk dicalonkan seperti Alfian Darmawan dan Syukri Fadholi. Namun kami sudah melakukan pembicaraan non formal dengan beliau (Syukri Fadholi-red) meskipun beliau belum menjawab secara formal,” tutur Fachrudin.
Dijelaskan Fachrudin sesuai dengan instruksi dari DPP PPP, pihaknya baru akan bergerak secara resmi setelah diumumkannya tahapan Pemilukada oleh KPU Kota Yogyakarta.
Sumber : http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=227498&actmenu=36  

Siap Melawan Sampai Titik Darah Penghabisan

JOGJA- Partai Persatuan Pembangunan (PPP) boleh jadi menjadi partai pertama di DIJ yang tegas-tegas memberikan dukungan digelarnya referendum untuk menentukan nasib keistimewaan DIJ. "Bila RUUK mengalami deadlock atau jalan buntu harus segera dilaksanakan referendum bagi rakyat," ujar Ketua DPW PPP DIJ HM Syukri Fadholi saat menggelar keterangan pers di kantornya kemarin (3/12).


Syukri didampingi sejumlah fungsionaris partai berlambang Kakbah mengatakan referendum diperlukan bagi rakyat untuk menentukan pilihannya antara penetapan atau pemilihan gubernur dan wakil gubernur DIJ.

Soal jabatan gubernur dan wakil gubernur, PPP yang pada 1998 pernah mengajukan Ketua DPW PPP DIJ Alfian Darmawan (ketika itu) sebagai calon gubernur  melawan Ketua DPD Golkar Hamengku Buwono X, sepakat agar Sultan dan Paku Alam  yang bertahta diangkat dan ditetapkan pemerintah.

Untuk menyiapkan suksesi, PPP minta secara personal harus dilakukan pendidikan dan kaderisasi bagi calon Sultan dan Paku Alam sehingga integritas,  kualitas dan kompetensi sebagai pemimpin terpenuhi.

Terkait masalah pertanahan, mantan wakil wali kota Jogja itu mendesak agar diatur tersendiri sesuai keunikan dan kekhasan DIJ yang membedakan dengan daerah lain. Demikian pula menyangkut masalah pendidikan dan kebudayaan.

Masih terkait dukungan terhadap penetapan, sejumlah aktivis yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Mataram (Geram) melakukan aksi pembagian bambu runcing di depan Gedung Agung, kemarin (3/12).

Pemimpin Geram Widihasto Wasana Putra menjelaskan, aksi itu sebagai perlambang semangat "golog gilig saiyek saeko proyo" rakyat Jogja mempertahankan ciri utama keistimewaan yakni penetapan Sultan dan Paku Alam yang jumeneng sebagai gubernur dan wakil gubernur. "Inilah demokrasi yang berurat berakar di Jogja dan pondasi politik yang dibangun para pendiri republik sebagai kekuatan manunggal," kata Widihasto.

Sayangnya, komitmen itu malah diciderai oleh keputusan sidang kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang ingin memaksakan pemilihan langsung di DIJ. Karena itu, Geram dan seluruh elemen rakyat Jogja siap melawan sampai titik darah penghabisan. "Kami cinta perdamaian tapi kami lebih mencintai keistimewaan," ujar mantan anggota Panwas Pemilihan Wali Kota Jogja 2006 silam ini. (kus)
sumber : http://www.jpnn.com/read/2010/12/04/78781/PPP-Beri-Dukungan-Referendum-
 

MEMBANGUN PERADABAN BANGSA DENGAN PENDIDIKAN BERKARAKTER MORAL

I.       Pendahuluan
Dunia memang sedang mencari keseimbangan. Ditengah maraknya fenomena perilaku amoral yang melibatkan peserta didik sebagai pelakunya, seperti seks pra-nikah, video porno, penyalahgunaan NAPZA dan minuman keras, tawuran, kekerasan perploncoan, penghinaan guru dan sesama murid melalui facebook. Bahkan kasus-kasus korupsi, kolusi dan manipulasi yang prevalensinya banyak melibatkan orang-orang terdidik dan terpelajar. Hal ini menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan yang idealnya melahirkan generasi-generasi terdidik dan beretika sekaligus menjadi musuh utama fenomena-fenomena perilaku amoral tersebut.
Mungkin hal inilah yang menjadi kekhawatiran para tokoh-tokoh dunia, seperti Mahatma Gandhi yang memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu “education without character”(pendidikan tanpa karakter). Begitu pula, Dr. Martin Luther King yang pernah berkata: “Intelligence plus character….that is the goal of true education” (Kecerdasan plus karakter….itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya). Juga Theodore Roosevelt yang mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat). Bahkan pendidikan yang menghasilkan manusia berkarakter ini telah lama didengung-dengungkan oleh pandita pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, dengan pendidikan yang berpilar kepada Cipta, Rasa dan Karsa. Bermakna bahwa pendidikan bukan sekedar memberikan pengetahuan (knowledge) tetapi juga mengasah afeksi moral sehingga menghasilkan karya bagi kepentingan ummat manusia. Di sinilah peran sekolah dan guru sebagai institusi pendidikan formal sebagai posisi yang ‘tertantang’ dalam menghadapi fenomena yang berkaitan dengan globalisasi dan degradasi moral.   

II.    Pemahaman Istilah
Secara etimologis, istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, yaitu kharaseein, yang awalnya mengandung arti mengukir tanda di kertas atau lilin yang berfungsi sebagai pembeda (Bohlin, 2005). Istilah ini selanjutnya lebih merujuk secara umum pada bentuk khas yang membedakan sesuatu dengan yang lainnya. Dengan demikian, karakter dapat juga menunjukkan sekumpulan kualitas atau karakteristik yang dapat digunakan untuk membedakan diri seseorang dengan orang lain (Timpe, 2007).
Perkembangan berikutnya, pengetahuan tentang karakter banyak dipelajari pada ilmu-ilmu sosial. Dalam filsafat misalnya, istilah karakter biasa digunakan untuk merujuk dimensi moral seseorang. Salah satu contoh adalah ilmuwan Aristoteles yang sering menggunakan istilah ēthē untuk karakter yang secara etimologis berkaitan dengan “ethics” dan “morality”. Menurut Hasting et al. (2007), karakter mempunyai domain moral dan nonmoral. Karakter berdomain moral ialah semua perilaku yang merujuk kepada hubungan interpersonal atau hubungan dengan orang lain. Contohnya, kasih sayang, empati, loyal, membantu dan peduli dengan orang lain (sifat-sifat feminis). Sedangkan karakter berdomain nonmoral adalah semua perilaku yang merujuk kepada pengembangan sifat-sifat dalam diri atau intrapersonal. Contohnya, disiplin, jujur, bertanggung jawab, pantang menyerah dan percaya diri (sifat-sifat maskulin). Baik karakter berdomain moral maupun nonmoral tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk membentuk kepribadian yang peka terhadap kepentingan sosial (prososial). Salah satu definisi karakter yang cukup lugas dikemukakan oleh Berkowitz (2002), yaitu sekumpulan karakteristik psikologis individu yang mempengaruhi kemampuan seseorang dan membantu dirinya untuk dapat berfungsi secara moral.
Sedangkan pemahaman moral sendiri menurut Damon (1988) adalah aturan dalam berperilaku (code of conduct). Aturan tersebut berasal dari kesepakatan atau konsesus sosial yang bersifat universal. Moral yang bermuatan aturan universal tersebut bertujuan untuk pengembangan ke arah kepribadian yang positif (intrapersonal) dan hubungan manusia yang harmonis (interpersonal). Lebih lanjut, Nucci & Narvaes (2008) menyatakan bahwa moral merupakan faktor determinan atau penentu pembentukan karakter seseorang. Oleh karena itu, indikator manusia yang berkarakter moral adalah:
(1)   Personal improvement; yaitu individu yang mempunyai kepribadian yang teguh terhadap aturan yang diinternalisasi dalam dirinya. Dengan demikian, ia tidak mudah goyah dengan pengaruh lingkungan sosial yang dianggapnya tidak sesuai dengan aturan yang diinternalisasi tersebut. Ciri kepribadian tersebut secara kontemporer diistilahkan sebagai integritas. Individu yang mempunyai integritas yang tinggi terhadap nilai dan aturan yang dia junjung tidak akan melakukan tindakan amoral. Sebagai contoh, individu yang menjunjung tinggi nilai agamanya tidak akan terpengaruh oleh lingkungan sosial untuk mencontek, manipulasi dan korupsi.
(2)   Social skill; yaitu mempunyai kepekaan sosial yang tinggi sehingga mampu mengutamakan kepentingan orang lain. Hal ini ditunjukkan dengan hubungan sosialnya yang harmonis. Setiap nilai atau aturan universal tentunya akan mengarahkan manusia untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain. Contohnya, individu yang religius pasti akan berbuat baik untuk orang lain atau mengutamakan kepentingan ummat.
(3)   Comprehensive problem solving; yaitu sejauhmana individu dapat mengatasi konflik dilematis antara pengaruh lingkungan sosial yang tidak sesuai dengan nilai atau aturan dengan integritas pribadinya terhadap nilai atau aturan tersebut. Dalam arti, individu mempunyai pemahaman terhadap tindakan orang lain (perspektif lain) yang menyimpang tetapi individu tersebut tetap mendasarkan keputusan/sikap/ tindakannya kepada nilai atau aturan yang telah diinternalisasikan dalam dirinya. Sebagai contoh, seorang murid yang tidak mau mengikuti teman-temannya mencontek saat tidak diawasi oleh guru karena ia tetap menjunjung tinggi nilai atau aturan yang berlaku (kejujuran). Meskipun sebenarnya ia mampu memahami penyebab perilaku teman-temannya yang mencontek. Keluwesan dalam berfikir dan memahami inilah dibutuhkan untuk menilai suatu perbuatan tersebut benar atau salah.
Terminologi pendidikan memang berbeda dengan pengajaran. Perbedaan tersebut terletak pada ranah yang ‘disentuh’ oleh pendidikan dan pengajaran. Dalam terminologi pengajaran maka guru hanya memberikan ilmu sebatas dalam ranah pengetahuan (cognitive) kepada muridnya. Sedangkan dalam terminologi pendidikan maka guru memberikan ilmu dalam ranah pengetahuan (cognitive), perasaan (affective), sikap (attitude) dan tindakan (action). Hal tersebut sebenarnya berdasarkan pemikiran filosofis dari Aristoteles (filusuf Yunani) yang mempunyai prinsip soul & body dualism, yaitu manusia hakikatnya terdiri dari dua elemen dasar, yaitu rohani dan ragawi. Oleh karena itu, pendidikan tidak hanya memberikan ‘asupan’ untuk raga (dalam hal ini direpresentasikan dengan otak) tetapi juga ‘asupan’ untuk rohani berupa moralitas untuk menentukan sikap baik-buruk atau benar-salah.
Berdasarkan paparan pemahaman istilah di atas maka pemakalah mencoba mendefinisikan pendidikan berkarakter moral sebagai proses transfer pengetahuan, perasaan, penentuan sikap dan tindakan terhadap fenomena berdasarkan nilai atau aturan universal sehingga peserta didik mempunyai kepribadian yang berintegritas tinggi terhadap nilai atau aturan tersebut dan mampu melakukan hubungan sosial yang harmonis tanpa mengesampingkan nilai atau aturan yang ia junjung tinggi tersebut. Sehingga pendidikan berkarakter moral ini dapat membantu peserta didik memahami kebaikan, mencintai kebaikan dan menjalankan kebaikan (know the good, love the good, and do the good). Dengan demikian, karakter sebagai pembeda antara orang terdidik dengan orang yang tidak terdidik terlihat dengan jelas dari tiga indikator output yang telah disebutkan. Oleh karena itu, pemakalah mempunyai perspektif yang berbeda dengan Hasting et al. (2007) yang membedakan karakter moral dan nonmoral. Berdasarkan definisi tersebut, justru pemakalah menggabungkan karakter domain moral dan nonmoral menjadi tiga indikator yang tidak dapat dipisahkan ketika ingin mengetahui ciri manusia yang berkarakter moral.        

III. Fungsi Agama dalam Perkembangan Karakter Moral Pada Manusia
Berdasarkan pendapat para ahli, pembentukan karakter turut dipengaruhi oleh lingkungan, termasuk lingkungan keluarga, pendidikan dan masyarakat. Begitu pula nilai-nilai agama yang dianut dalam lingkungan tersebut menyebabkan perkembangan karakter moral pada individu. Agama mempunyai pandangan yang universal terhadap moral, yaitu aktivitas atau tindakan yang mengarah kepada pro-sosial dan pengembangan kepribadian. Aktivitas pro-sosial ini ditunjukkan dengan agama yang mengatur hubungan manusia dengan manusia yang lain (muamallah), misalnya membantu orang lain, perdamaian, cinta kasih dan lain sebagainya. Tidak ada satu agama pun yang tidak mengajarkan tentang kemanusiaan dan tolong menolong atau pro-sosial. Sedangkan pengembangan kepribadian antaranya kejujuran, kedisiplinan dan tanggung jawab. Bahkan dengan agama, individu diajarkan tentang nilai-nilai yang membuat manusia selamat dunia dan akhirat. Bahkan Broffenbrenner (tokoh psikologi) menyatakan bahwa agama merupakan salah satu penentu pembentukan atau perkembangan individu dalam hal moralitasnya. Oleh karena itu, agama merupakan filofosi sekaligus metode praktis dalam menanamkan kepribadian dan moralitas seseorang.
Sebenarnya beberapa ahli pemikir Barat membedakan antara moral dengan nilai-nilai agama. Akan tetapi, pemakalah mempunyai pendirian bahwa nilai agama membentuk karakter moral karena nilai agama yang universal juga mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri (intrapersonal) dan hubungan manusia dengan lingkungan sosialnya (interpersonal). Tidak ada agama yang tidak mengatur ketiga hal tersebut. Bahkan secara tegas, Silberman (2005) menyatakan bahwa ciri manusia yang religius adalah;
(a). Mampu memahami Tuhan dan melaksanakan semua ajaranNya. Pada elemen ini, manusia yang beragama dituntut untuk memahami kekuatan Tuhan dan mengamalkan semua ajaranNya dalam kehidupan sehari-hari.
(b). Memahami pemaknaan diri. Pada elemen ini, manusia yang mengaku beragama harus memiliki pemahaman terhadap hakikat diri, tujuan hidup, potensi diri dan pengaruh ajaran agama terhadap proses pembentukan jati diri. Misalnya, sebagai seorang Muslim maka ia tahu bahwa tujuan hidupnya hanyalah untuk berbakti kepada Allah SWT, mempunyai potensi persaudaraan sebagai sesama muslim dan ajaran Islam dijadikannya sebagai identitas dirinya.
(c). Meyakini dan memelihara hubungan dengan mahluk lain ciptaan Tuhan dan alam semesta. Sebagai manusia yang beragama maka kita dituntut untuk membina hubungan dengan orang lain, mahluk ghaib dan alam semesta.
(d). Keyakinan terhadap hari depan, yaitu keyakinan yang harus dimiliki oleh manusia religius terhadap kehidupan masa depan, kehidupan setelah kehidupan di dunia, seperti kematian, alam kubur, hari berbangkit atau kiamat, syurga dan neraka. Oleh karena itu, manusia yang religius menjadikan kehidupan di dunia ini sebagai investasi dalam kehidupan di masa mendatang, termasuk kehidupan akhirat kelak.
Dengan demikian, pendidikan agama merupakan syarat mutlak dalam pemebentukan karakter moral seseorang.

IV. Peranan Sekolah Dalam Pembangunan Manusia Berkarakter Moral
Peranan pendidikan berkarakter moral di sekolah pernah dilakukan oleh Berkowitz & Bier (2003). Mereka menyatakan bahwa penerapan pendidikan berkarakter moral mempengaruhi peningkatan motivasi siswa dalam meraih prestasi. Bahkan kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik. Hal ini disebabkan salah satu tujuan pendidikan karakter adalah untuk pengembangan kepribadian yang berintegritas terhadap nilai atau aturan yang ada. Ketika individu mempunyai integritas maka ia akan memiliki keyakinan terhadap potensi diri (self efficacy) untuk menghadapi hambatan dalam belajar.
Beberapa tema-tema moral yang berhubungan dengan kognitif ditemukan dalam penelitian Narvaes (2006). Peserta didik yang mendapatkan pendidikan berkarakter moral akan lebih; (a). Mudah memahami situasi moral secara akurat dan menegakkan aturan atau nilai yang diinternalisasi, (b). Mempunyai alat atau metode untuk memecahkan masalah moral yang kompleks, (c). Tetap berfokus terhadap tugas-tugas akademis dan termotivasi untuk mengatasi hambatan dalam pembelajaran, (d). Mampu memprioritaskan tujuan-tujuan etis untuk pengembangan diri dan pemberdayaan sosial. Oleh karena itu, negara-negara maju turut menekankan pendidikan berkarakter moral tersebut sebagai soft-skill yang mengikuti kompetensi pembelajaran. Dengan demikian, lulusan dunia pendidikan akan lebih siap berkompetisi dalam era global saat ini.
 Meskipun sekolah merupakan lingkungan kedua bagi peserta didik dalam pembentukan karakter namun sekolah merupakan komunitas untuk melakukan sharing nilai dengan guru, teman sebaya dan sivitas akademika. Apalagi, fenomena kurikulum sekarang yang sarat beban bagi peserta didik menyebabkan ia tinggal lebih lama di sekolah daripada di lingkungan keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, pemakalah memberikan usulan terhadap peran sekolah dalam membangun manusia yang berkarakter moral sebagai berikut;
  1. Menyediakan pendidikan moral agama yang berbasis penyikapan terhadap kasus/ fenomena. Dalam hal ini tentunya agama tidak saja disajikan dalam pengetahuan aturan atau tata laksana ibadah (syari’at) tetapi lebih kepada nilai-nilai agama dalam menghadapi fenomena sosial. Nilai-nilai agama inilah yang menjadi bagian dari pembentukan karakter moral peserta didik. Sebagai contoh, pendidikan agama Islam tidak hanya mengajarkan syari’at sholat saja tapi nilai-nilai manfaat yang diperoleh bagi manusia itu sendiri dengan menjalankan sholat. Begitu pula agama Kristen Protestan tidak hanya mengajarkan cara bersembahyang tetapi bagaimana menerapkan Etika Protestan untuk keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat. Juga The Golden Role dalam ajaran agama Katholik agar manusia menyebarkan kebaikan kepada sesamanya. Berdasarkan ciri manusia yang religius atau mempunyai nilai-nilai agama tersebut maka sebenarnya sama dengan tujuan pendidikan berkarakter moral yang mengembangkan interpersonal dan intrapersonal. Dengan demikian, pendidikan moral agama lebih ditekankan kepada kasus-kasus atau fenomena yang harus dipecahkan oleh peserta didik berdasarkan pertimbangan nilai atau moral agama. Hal ini yang disebut sebagai pembelajaran berbasis masalah (problem based learning).
  1. Menyiapkan guru, kakak kelas, sivitas akademika, alumni sebagai role model. Sebagaimana definisi pendidikan berkarakter moral sebagai proses transfer, khususnya tindakan terhadap fenomena berdasarkan nilai atau aturan universal maka dibutuhkan figur teladan dalam menegakkan nilai atau aturan tersebut. Figur teladan ini sesuai dengan filosofi pendidik yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu ing ngarso sung tulodho (seorang guru harus mampu memberikan keteladanan sikap dan tindakan), khususnya keteladanan moral. Apalagi, guru merupakan sosok digugu lan ditiru (dipatuhi dan dicontoh tindakannya). Jika guru hanya memberikan pengajaran moral tanpa mendidik (memberi keteladanan moral) maka akan terjadi kebingungan pada diri peserta didik. Sosok guru yang ideal ialah guru yang bermoral. Ketika guru melakukan tindakan amoral, seperti pelecahan seksual, kekerasan, tindak pidana dan lain sebagainya maka fenomena ini disebut sebagai moral hypocrisy, yaitu sosok yang idealnya bermoral namun melakukan tindakan tidak bermoral. Tidak hanya guru, kakak kelas dan alumni pun sebagai figur teladan dalam penegakan moral. Jika kakak kelas dan alumni berkomitmen untuk membantu penegakan moral di lingkungan sekolah maka aktivitas yang tidak bermoral, seperti kekerasan dalam masa orientasi dan tawuran dapat diminimalisasi. 
  2. Menyediakan perangkat nilai dan aturan yang jelas, rasional dan konsisten. Sekolah yang mempunyai aturan jelas menyebabkan tidak ada ambiguitas peserta didik dalam memahaminya. Aturan yang jelas juga dimaksudkan agar peserta didik tidak mencari celah kelemahan aturan dan memanfaatkan celah tersebut untuk pelanggaran. Selain itu, yang dimaksudkan dengan aturan atau nilai yang rasional ialah segala aturan tersebut bukan saja bertujuan untuk mengarahkan atau melarang suatu tindakan tetapi lebih kepada penguatan alasan mengapa aturan atau nilai tersebut ditegakkan. Tentunya hal ini membutuhkan sosialisasi kepada peserta didik dan sivitas akademika agar memahami latar belakang ditegakkannya nilai atau aturan tersebut. Rasionalitas atau alasan tentang penegakan nilai moral tersebut perlu dilakukan karena dalam psikologi perkembangan, seorang remaja mulai berfikir operasional kongkret yang mencari rasional dalam setiap tindakan. Dengan pemahaman nilai atau aturan yang rasional tersebut maka peserta didik akan menjalankan aturan dan nilai tersebut karena terdorong untuk kebaikan mereka sendiri. Hal ini menandakan aturan atau nilai yang rasional/ mempunyai alasan yang tepat akan menumbuhkan motivasi intrinsik atau motivasi dalam diri. Sedangkan penegakan nilai atau aturan yang konsisten untuk semua pihak diharapkan akan menjadi perangkat aturan untuk kepentingan bersama (keadilan distributif). 
  3. Membangun sinergisitas antara pihak sekolah, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Sebagaimana kita ketahui kebijakan publik tidak dapat dijalankan jika tidak ada sinergi antara pihak terkait. Meskipun sekolah telah menerapkan pendidikan berkarakter moral di lingkungan belajar namun hal ini tidak akan efektif jika tidak didukung keterlibatan pihak keluarga, masyarakat dan pemerintah. Jika kita kembali merujuk definisi pendidikan berkarakter moral maka pendidikan tersebut sesungguhnya merupakan suatu PROSES. Maknanya, pendidikan berkarakter moral merupakan transfer secara bertahap dan berkelanjutan. Sayangnya, kebijakan pemerintah tentang ujian nasional (UNAS) mempunyai dampak bahwa pendidikan lebih menekankan kepada hasil suatu sistem dan bukan kepada proses. Padahal sebenarnya pendidikan lebih menekankan kepada proses suatu sistem. Oleh karena itu, disarankan agar pemerintah tidak membuat suatu kebijakan yang bertentangan dengan filosofi pendidikan berkarakter moral.
  4. Pendidikan berkarakter moral dimasukkan dalam kegiatan intra, ekstra dan ko-kulikuler sebagai hidden curriculum. Dalam kegiatan intra-kurikuler dan ko-kurikuler, setiap mata pelajaran perlu memberikan pesan moral khusus berkaitan dengan topik pembelajaran. Contohnya, pelajaran Biologi tentang reproduksi manusia perlu diberikan sosialisasi tentang dampak negatif seks pra-nikah jika organ reproduksi belum siap digunakan. Jadi, tidak sekedar pengetahuan seks tetapi juga menyisipkan pesan moral yang rasional.  Begitu pula, dalam kegiatan ekstra-kurikuler perlu diperbanyak aktivitas yang membina karakter moral peserta didik, seperti Pramuka, PMR, Dokter Kecil, Olah Raga dan lain sebagainya. Bahkan ide untuk mendirikan dan melestarikan “Kantin Kejujuran” perlu diwujudkan. 
  5. Menyajikan story telling melalui multi media dengan melibatkan peran sebagai role model karakter moral. Menurut Sheldon (2004), story telling adalah salah satu metode yang tepat untuk menyampaikan pesan moral melalui peran tokoh-tokoh dalam suatu cerita sebagai role model. Dengan demikian, story telling memiliki kemampuan untuk menyampaikan nilai-nilai moral karena anak dan remaja lebih mudah menerima informasi melalui audio-visual. Oleh karena itu, disarankan story telling disajikan dalam multi media sehingga menarik keterlibatan afeksi dan kognisi peserta didik dalam menginternalisasi nilai moral yang disampaikan. Sebagai contoh, story telling dengan tema budaya lokal, seperti Malin Kundang disampaikan melalui tayangan film atau parodi sehingga pesan moral tentang berbakti kepada orang tua lebih efektif disampaikan kepada peserta didik.
V.    Penutup
Pendidikan berkarakter moral adalah kunci untuk perbaikan sosial dan kemajuan peradaban bangsa yang menjunjung tinggi integritas nilai dan kemanusiaan. Harapan dari pendidikan berkarakter moral adalah tercapainya keseimbangan antara pengetahuan dan moral. Salah satu pendekatan dalam pendidikan berkarakter moral ialah dengan pendidikan moral agama yang diterapkan dalam setiap kehidupan akademis. Jika pengetahuan dan moral agama dapat diintegrasikan maka berkembanglah kesempurnaan ilmu berlandaskan moralitas (excellent with morality). “Ilmu tanpa agama akan buta, agama tanpa ilmu akan lumpuh.”
Pendidikan berkarakter moral dikatakan efektif apabila telah mencapai tujuan untuk menjadikan manusia yang mempunyai karakter; kemampuan sosial (social skill), pengembangan kepribadian (personal improvement) dan pemecahan masalah secara komprehensif (comprehensive problem solving).
Pendidikan berkarakter moral memerlukan figur teladan sebagai role model untuk menegakkan nilai atau aturan yang telah disepakati bersama. Di sinilah peran pendidik, khususnya guru, orang tua, masyarakat dan pemerintah sebagai figur teladan agar peserta didik mampu melakukan imitasi terhadap perilaku moral. Oleh karena semua pihak dituntut untuk terlibat aktif maka perlu adanya sinergisitas diantara elemen tersebut sehingga pendidikan berkarakter moral dapat terus dilakukan secara berkelanjutan. Sinergi semua elemen inilah yang mengingatkan kita kepada kata-kata bijak, “Tidak ada keberhasilan individu, yang ada adalah keberhasilan kolektif.”
~SF~
 DAFTAR PUSTAKA
Berkowitz, Marvin W. (2002). The Science of Character Education. Dalam William Damon (Editor), Bringing in a New Era in Character Education. USA: Hoover Institution Press Publication).
Berkowitz, M., & Bier, M. (2003). What works in character education. Presentation at the Character Education Partnership National Forum.Washington, DC.
Bohlin, Karen, E. (2005). Teaching Character Education through Literature. New York: Routledge Falmer.
Brugman, D., Podolskij, A. J., Heymans, P. G., Boom, J., Karabanova, O., & Idobaeva, O. (2003). Perception of moral atmosphere in school and norm transgressive behavior in adolescents: An intervention study. International Journal of Behavioral Development, 27, 289–300.
Caspi, A., Sugden, K., Moffitt, T. E., Taylor, A., Craig, I. W., Harrington, H., et al. (2003). Influence of life stress on depression: Moderation by a polymorphism in the 5-HTT gene. Science, 301, 386–389.
Damon, W. (1988). Moral child: Nurturing children’s natural moral growth. New York: Free Press.

Deater-Decker, K., & O’Connor, T. G. (2000). Parent-child mutuality in early childhood: Two behavioral genetic studies. Developmental Psychology, 36, 561–570.
Decety, J., & Chaminade, T. (2003). Neural correlates of feeling sympathy. Neuropsychologia, 41, 127–138.
Dunn, J., & Hughes, C. (2001). “I got some swords and you’re dead!”: Violent fantasy, antisocial behavior, friendship and moral sensibility in young children. Child Development, 72, 491–505.
Grusec, J. E., Goodnow, J. J., & Kuczynski, L. (2000). New directions in analyses of parenting contributions to children’s acquisition of values. Child Development, 71, 205–211.
Harris, J. C. (2003). Social neuroscience, empathy, brain integration, and neurodevelopmental disorders. Physiology & Behavior, 79, 525–531.
Hastings, P. D., McShane, K. E., Parker, R., & Ladha, F. (2007). Ready to make nice: Parental socialization of young sons’ and daughters’ prosocial behaviors with peers. The Journal of Genetic Psychology, 168, 177 – 200.

Hawkins, D. J., Guo, J., Hill, G., Battin-Pearson, S., & Abbott, R. D. (2001). Long-term effects of the Seattle Social Development Project intervention on school bonding trajectories. Applied Developmental Science, 5, 225–236.
Howe, N., Rinaldi, C. M., Jennings, M., & Petrakos, H. (2002). “No! the lambs can stay out because they got cozies”: Constructive and destructive sibling conflict, pretend play, and social understanding. Child Development, 73, 1460–2473.
Huesmann, L. R., Moise-Titus, J., Podolski, C., & Eron, L. D. (2003). Longitudinal relations between children’s exposure to TV violence and their aggressive and violent behavior in young adulthood: 1977–1992. Developmental Psychology, 39, 201–221.
Kerr, M., & Stattin, H. (2000).What parents know, how they know it, and several forms of adolescent adjustment: Further support for a reinterpretation of monitoring. Child Development, 36, 366–380.
Killen, M., Pisacane, K., Lee-Kim, J., & Ardila-Rey, A. (2001). Fairness or stereotypes? Young children’s priorities when evaluating group exclusion or inclusion. Developmental Psychology, 37, 587–596.
Kochanska, G. (2002). Mutually responsive orientation between mothers and their young children: A context for the early development of conscience. Current Directions in Psychological Science, 11, 191–195.
Kochanska, G., Aksan, N., & Koenig, A. L. (2004). Maternal parenting and children’s conscience: Early security as moderator. Child Development, 75, 1229–1242.
Kochanska, G., Aksan, N., & Nichols, K. E. (2003). Maternal power assertion in discipline and moral discourse contexts: Commonalities, differences, and implications for children’s moral conduct and cognition. Developmental Psychology, 39, 949–963.
Laible, D. J., & Thompson, R. A. (2000). Mother-child discourse, attachment security, shared positive affect, and early conscience development. Child Development, 71, 1424–1440.
Mares, M. L., & Woodard, E H. (2005). Positive effects of television on children’s social interactions: A meta-analysis. Media Psychology, 7, 301–322.
Narvaez, D. (2006). Integrative ethical education. Dalam M. Killen & J. Smetena (Eds.), Hand book of moral development (pp.703–732). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Nucci, L.P., & Narvaez, D. (2008). Handbook of Moral and Character Education. New York: Routledge.
Peterson, Christopher & Seligman, Martin E. P. (2004). Character Strengths and Virtues: A Handbook and Classification. New York: Oxford University Press.
Plomin, R., & McGuffin, P. (2003). Psychopathology in the postgenomic era. Annual Review of Psychology, 54, 205–228.
Robinson, T. N., Wilde, M. L., Navracruz, L. C., Haydel, K. F., & Varady, A. (2001). Effects of reducing children’s television and videogame use on aggressive behavior. Archives of Pediatric and Adolescent Medicine, 155, 17–23.
Sheldon, Lee. (2004). Character Development and Story Telling. Boston: Thomson.
Silberman, I. (2005). Religion as a meaning system: implications for the new millennium. Journal of Social Issues 61(4): 641-663.

Theimer, C. E., Killen, M., & Stangor, C. (2001). Preschool children’s evaluations of exclusion in gender-stereotypic contexts. Developmental Psychology, 37, 18–27.
Timpe, Kevin. (2007). Internet Encyclopedia of Philosophy. Diakses 21 April 2010, dari http://www.iep.utm.edu/moral-ch/#H3)

Wulandari, Primatia Yogi. (2010). Karakter Anak = Karakter TV, Peran Media Massa dalam Pembentukan Karakter Anak. Makalah untuk Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Wilayah Jawa Timur. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.

Zhou, Q., Eisenberg, N., Loyosa, S. H., Fabes, R., Reiser, M., Guthrie, I. K., Murphy, B. C., Cumberland, A. J., & Shepard, S. A. (2002). The relations of parental warmth and positive expressiveness to children’s empathy-related responding and social functioning: A longitudinal study. Child Development, 73, 893–915.

---., http://ihfkarakter.multiply.com/journal, Diakses 21 April 2010.

‘GAYUS’: VARIAN LAMA VIRUS KORUPSI


Seorang penjual bakmi di depan rumah saya dengan spontan menyatakan kesediaannya untuk menggantikan Gayus Tambunan menjalani hukuman selama 7 tahun. Ia bersedia menjadi joki napi dengan syarat dibayar 1 milyar rupiah saja. Bilangan rupiah yang tidak ada artinya bagi seorang Gayus. Tapi sangat berarti bagi sang penjual bakmi yang mengatakan tidak mungkin mendapatkan uang 1 milyar rupiah meski ia menjual bakmi seumur hidupnya. Bahkan seorang mahasiswa yang sering membeli bakmi di warungnya pun ikut nimbrung dengan mengatakan ia juga mau menjadi joki napi bagi Gayus dengan imbalan serupa meski harus menjalani 10 tahun hukuman penjara. Mimpinya, jika mendapatkan uang tersebut maka masa depannya menjadi cerah dan terjamin. Menurutnya, belum tentu setelah kuliah ia bakal mendapatkan masa depan yang terjamin dengan pekerjaan yang banyak mendapatkan uang.
Weleh…weleh…rupanya masyarakat kita semakin kritis dengan fenomena yang mereka temui di kehidupan bangsa yang carut marut ini. Akan tetapi, hal ini juga menunjukkan bahwa ‘virus’ korupsi telah merebak hingga ke elemen masyarakat yang di bawah. Hukuman fisik yang trend-nya tidak sampai 10 tahun tidak sebanding dengan kenikmatan hasil korupsi yang didapatkan. Apalagi, dalam situasi yang serba sulit seperti sekarang, ‘virus’ kenikmatan korupsi akan banyak membuai masyarakat yang hidup susah. Beberapa penelitian Psikologi menyatakan orang yang mengalami kekurangan (deprivasi relatif) cenderung banyak melakukan tindakan menyimpang dan agresivitas. Sehingga tidak heran jika masyarakat yang kesusahan akan menerima tawaran materialistis tersebut. Bahkan dengan pemikiran yang sedikit nakal, jika banyak muncul Gayus-Gayus lain maka lowongan pekerjaan sebagai joki napi semakin banyak. Begitu pula, dengan ‘rejeki’ yang ditebar oleh Gayus membuat praktek mafia birokrasi semakin subur. Betapa tidak, sudah berapa banyak birokrat-birokrat kita yang tersangkut kasus Gayus?
   
Korupsi; penyakit menular
Berbagai penyimpangan kebijakan pengelola negara dapat dianalogikan sebagaimana patologi dalam faali atau penyakit tubuh (Hogwood & Peters, 1985). Salah satunya adalah penyimpangan yang mempunyai sapaan akrab korupsi dan manipulasi dapat dianalogikan sebagai kelainan tubuh karena kecanduan (addicted). Betapa tidak, kenikmatan hasil korupsi yang mewah dapat membuai manusia untuk kembali menikmatinya. Ini merupakan hal yang manusiawi, kenikmatan membuat perilaku sering diulang. Kondisi ini juga disebabkan oleh euphoria reformasi yang dialami oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Setelah kebebasan individu terbelenggu selama 30 tahun, masyarakat yang menerima kebebasan yang dipersepsikan sebagai kebebasan mutlak, merasakan adanya keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang baru sebanyak-banyak. Termasuk kebebasan untuk mendapatkan materi dari hasil korupsi.
Korupsi-manipulasi digolongkan dalam patologi sosial karena korupsi telah menjadi penyakit yang menyengsarakan kepentingan sosial. Dampak material dari perilaku korupsi dapat segera dirasakan oleh publik secara langsung. Sehingga jika korupsi tidak ditanggulangi segera maka penyakit ini menjadi semakin kronis dan menyebar. Hal ini disebabkan bahwa korupsi yang awalnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan materialisme individu dan atau kelompok tertentu tidak hanya mengakibatkan kerugian material namun juga tatanan nilai moral suatu bangsa pada umumnya.
Dewasa ini, segala sesuatu selalu dihargai dengan materi yang menyebabkan meningkatnya jiwa materialistis masyarakat. Semboyan pelayanan yang umum digunakan saat ini adalah ’ada uang maka urusan jadi lancar’ menyebabkan individu semakin terbius dengan kenikmatan-kenikmatan materi. Memang pada hakikatnya, individu mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhan materialnya dalam mempertahankan hidup. Segala kebutuhan primer, sekunder hingga tersier membutuhkan materi untuk memenuhinya. Kondisi ini yang membuat manusia secara tidak sadar menghargai segala sesuatu dengan materi. Materi inilah yang membuat individu terlena dengan pemenuhan segala kebutuhan yang tidak pernah terpuaskan. Pada akhirnya, bagaikan obat bius yang menyebabkan ketagihan maka individu sesungguhnya sudah masuk dalam jeratan kecanduan materi. Siapa yang patut disalahkan? Dalam hal ini, kita sebagai anggota masyarakat yang membiasakan individu lain merasakan kenikmatan material akan menjerumuskan individu bahkan akhirnya komunitas masyarakat dalam kecanduan materi (material addicted). Meskipun tiada kita pungkiri bahwa setiap manusia menginginkan adanya kemudahan dan kelancaran dalam urusannya tanpa birokrasi yang berbelit atau sengaja dibuat berbelit.
Bagaimana proses terjadinya kecanduan materi sebagai penyakit yang mewabah dalam komunitas bangsa? Ibaratnya suatu penyakit, korupsi yang disebabkan oleh kecanduan materi yang dialami individu akan mewabah dengan 2 cara;
1.   kultural; yaitu individu mempunyai peranan dalam proses mempengaruhi lingkungan sosial yang selanjutnya lingkungan sosial akan mempengaruhi individu lain (sebagaimana teori Medan yang dikemukakan oleh Kurt Lewin). Jika individu yang berinteraksi dengan individu lain dalam komunitas, dimana individu tersebut mengalami kecanduan materi, maka interaksi tersebut mengakibatkan self organizing. Yaitu suatu kondisi dimana individu menyesuaikan dengan perilaku oleh orang lain dalam komunitas tersebut. Bisa dikatakan bahwa self organizing ini merupakan awal pijakan adanya konfirmitas individu terhadap kelompok atau anggota kelompoknya. Hal ini pulalah yang menyebabkan wabah kecanduan materi berkembang dari individu (mikrosistem) ke komunitas yang lebih luas (makrosistem). Inilah yang disebut sebagai kecanduan materi sebagai ’virus’ yang menyebarkan penyakit korupsi.
2.   struktural; yang dimaksud struktural disini adalah struktur organisasi suatu bangsa dan negara yang dikelola oleh pemerintah. Pengelolaannya ini diwujudkan dalam aturan-aturan atau birokrasi untuk tatanan masyarakat. Perilaku korupsi yang dimunculkan oleh kecanduan materi jika ditinjau dari sumber penyebab struktural adalah adanya contoh birokrasi yang berbelit atau sengaja dibuat berbelit untuk membuka peluang adanya korupsi-manipulasi. Rupanya struktural (baca: pemerintah) perlu menyadari adanya peluang birokrasi sebagai wadah menyalurkan ketagihan terhadap material. Adanya penyalahgunaan kekuasaan untuk pelaksanaan tender pengadaan, mekanisme birokrasi yang obesitas dalam mengurus kepentingan publik, ataupun pungutan-pungutan liar menunjukkan peluang untuk oknum-oknum aparat pemerintahan merasakan ketagihan materi. Praktek mafia birokrasi ini yang menyebabkan ’virus’ korupsi semakin merajalela.
Pendapat yang memperkuat cara penyebaran wabah korupsi ini berasal dari Richard Dawkins (2005) yang menyatakan bahwa penyebaran ini dipengaruhi oleh meme (baca: meim- Yunani). Meme adalah unit dalam pemikiran manusia yang bertugas untuk melakukan transmisi kultural. Unit ini semacam DNA pada manusia untuk membawa pesan atau informasi khusus, baik dari dalam maupun dari luar individu. Ketika individu mendapatkan semacam ’doktrin’ (keyakinan, pemikiran, ide, teori, kebiasaan, lagu, tari, mood, fashion dan segala macam stimulasi dari lingkungan)  maka meme ini yang bertugas untuk menyalurkan dalam kognisi manusia sekaligus berusaha mempertahankannya pada individu dengan carainternalisasi nilai-nilai).
Bahkan Richard Dawkins menambahkan bahwa meme ini bersifat dapat diturunkan secara genetis (selfish gene) bahkan dengan proses replikasi, ia mampu memperkuat eksistensinya dalam pemikiran manusia. Kondisi ini yang membuatnya oleh para ahli sebagai ’virus aktif’ yang mampu berkomunikasi dengan unit pada individu lain. Namun proses replikasi, genetis dan keaktifan meme dalam berkomunikasi ini tidak membuat kita pesimis untuk mengantisipasi penyebaran wabah penyakit korupsi. Kondisi ini disebabkan ia juga mampu dipengaruhi oleh lingkungan dan bermutasi sebagaimana sifat genetis biologis lainnya. Oleh karena itu, peranan lingkungan yang menjadi penyebab dan pengaruh bagi individu juga dapat dijadikan penangkal. Karena ’doktrin’ moral dan religiusitas pun dapat disebarkan dan diinternalisasi oleh meme.
Ketika bahasan tersebut dianalogikan dalam kasus Gayus maka sebenarnya kasus ini merupakan fenomena gunung es, sedikit muncul di permukaan tetapi lebih banyak yang tidak terungkap. Bahkan modus operandinya juga merupakan cara lama dan banyak digunakan oleh oknum-oknum birokrat. Dengan demikian, ’Gayus’ merupakan varian lama virus korupsi yang mudah menyebar di tengah masyarakat. Apalagi dengan ganjaran hukuman yang tidak setimpal, 7 tahun penjara, membuat melemahnya efek jera. Kondisi inilah yang menyebabkan masyarakat mempersepsikan bahwa korupsi merupakan tindakan yang wajar dilakukan. Sosok-sosok seperti Gayus memang ’virus’ korupsi, tetapi bukan penyebar penyakit korupsi. Sebab sebenarnya media penyebar penyakit korupsi ini adalah penegakan sistem keadilan negeri ini yang lemah. Seperti halnya, demam berdarah yang disebabkan oleh virus dengue maka nyamuk Aedes aegypti sebagai media penyebarannya. Mampukah hukum di negeri ini mencegah ’virus’ korupsi?

* Penulis adalah pemerhati sosial-politik