Selasa, 08 Februari 2011

‘GAYUS’: VARIAN LAMA VIRUS KORUPSI


Seorang penjual bakmi di depan rumah saya dengan spontan menyatakan kesediaannya untuk menggantikan Gayus Tambunan menjalani hukuman selama 7 tahun. Ia bersedia menjadi joki napi dengan syarat dibayar 1 milyar rupiah saja. Bilangan rupiah yang tidak ada artinya bagi seorang Gayus. Tapi sangat berarti bagi sang penjual bakmi yang mengatakan tidak mungkin mendapatkan uang 1 milyar rupiah meski ia menjual bakmi seumur hidupnya. Bahkan seorang mahasiswa yang sering membeli bakmi di warungnya pun ikut nimbrung dengan mengatakan ia juga mau menjadi joki napi bagi Gayus dengan imbalan serupa meski harus menjalani 10 tahun hukuman penjara. Mimpinya, jika mendapatkan uang tersebut maka masa depannya menjadi cerah dan terjamin. Menurutnya, belum tentu setelah kuliah ia bakal mendapatkan masa depan yang terjamin dengan pekerjaan yang banyak mendapatkan uang.
Weleh…weleh…rupanya masyarakat kita semakin kritis dengan fenomena yang mereka temui di kehidupan bangsa yang carut marut ini. Akan tetapi, hal ini juga menunjukkan bahwa ‘virus’ korupsi telah merebak hingga ke elemen masyarakat yang di bawah. Hukuman fisik yang trend-nya tidak sampai 10 tahun tidak sebanding dengan kenikmatan hasil korupsi yang didapatkan. Apalagi, dalam situasi yang serba sulit seperti sekarang, ‘virus’ kenikmatan korupsi akan banyak membuai masyarakat yang hidup susah. Beberapa penelitian Psikologi menyatakan orang yang mengalami kekurangan (deprivasi relatif) cenderung banyak melakukan tindakan menyimpang dan agresivitas. Sehingga tidak heran jika masyarakat yang kesusahan akan menerima tawaran materialistis tersebut. Bahkan dengan pemikiran yang sedikit nakal, jika banyak muncul Gayus-Gayus lain maka lowongan pekerjaan sebagai joki napi semakin banyak. Begitu pula, dengan ‘rejeki’ yang ditebar oleh Gayus membuat praktek mafia birokrasi semakin subur. Betapa tidak, sudah berapa banyak birokrat-birokrat kita yang tersangkut kasus Gayus?
   
Korupsi; penyakit menular
Berbagai penyimpangan kebijakan pengelola negara dapat dianalogikan sebagaimana patologi dalam faali atau penyakit tubuh (Hogwood & Peters, 1985). Salah satunya adalah penyimpangan yang mempunyai sapaan akrab korupsi dan manipulasi dapat dianalogikan sebagai kelainan tubuh karena kecanduan (addicted). Betapa tidak, kenikmatan hasil korupsi yang mewah dapat membuai manusia untuk kembali menikmatinya. Ini merupakan hal yang manusiawi, kenikmatan membuat perilaku sering diulang. Kondisi ini juga disebabkan oleh euphoria reformasi yang dialami oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Setelah kebebasan individu terbelenggu selama 30 tahun, masyarakat yang menerima kebebasan yang dipersepsikan sebagai kebebasan mutlak, merasakan adanya keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang baru sebanyak-banyak. Termasuk kebebasan untuk mendapatkan materi dari hasil korupsi.
Korupsi-manipulasi digolongkan dalam patologi sosial karena korupsi telah menjadi penyakit yang menyengsarakan kepentingan sosial. Dampak material dari perilaku korupsi dapat segera dirasakan oleh publik secara langsung. Sehingga jika korupsi tidak ditanggulangi segera maka penyakit ini menjadi semakin kronis dan menyebar. Hal ini disebabkan bahwa korupsi yang awalnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan materialisme individu dan atau kelompok tertentu tidak hanya mengakibatkan kerugian material namun juga tatanan nilai moral suatu bangsa pada umumnya.
Dewasa ini, segala sesuatu selalu dihargai dengan materi yang menyebabkan meningkatnya jiwa materialistis masyarakat. Semboyan pelayanan yang umum digunakan saat ini adalah ’ada uang maka urusan jadi lancar’ menyebabkan individu semakin terbius dengan kenikmatan-kenikmatan materi. Memang pada hakikatnya, individu mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhan materialnya dalam mempertahankan hidup. Segala kebutuhan primer, sekunder hingga tersier membutuhkan materi untuk memenuhinya. Kondisi ini yang membuat manusia secara tidak sadar menghargai segala sesuatu dengan materi. Materi inilah yang membuat individu terlena dengan pemenuhan segala kebutuhan yang tidak pernah terpuaskan. Pada akhirnya, bagaikan obat bius yang menyebabkan ketagihan maka individu sesungguhnya sudah masuk dalam jeratan kecanduan materi. Siapa yang patut disalahkan? Dalam hal ini, kita sebagai anggota masyarakat yang membiasakan individu lain merasakan kenikmatan material akan menjerumuskan individu bahkan akhirnya komunitas masyarakat dalam kecanduan materi (material addicted). Meskipun tiada kita pungkiri bahwa setiap manusia menginginkan adanya kemudahan dan kelancaran dalam urusannya tanpa birokrasi yang berbelit atau sengaja dibuat berbelit.
Bagaimana proses terjadinya kecanduan materi sebagai penyakit yang mewabah dalam komunitas bangsa? Ibaratnya suatu penyakit, korupsi yang disebabkan oleh kecanduan materi yang dialami individu akan mewabah dengan 2 cara;
1.   kultural; yaitu individu mempunyai peranan dalam proses mempengaruhi lingkungan sosial yang selanjutnya lingkungan sosial akan mempengaruhi individu lain (sebagaimana teori Medan yang dikemukakan oleh Kurt Lewin). Jika individu yang berinteraksi dengan individu lain dalam komunitas, dimana individu tersebut mengalami kecanduan materi, maka interaksi tersebut mengakibatkan self organizing. Yaitu suatu kondisi dimana individu menyesuaikan dengan perilaku oleh orang lain dalam komunitas tersebut. Bisa dikatakan bahwa self organizing ini merupakan awal pijakan adanya konfirmitas individu terhadap kelompok atau anggota kelompoknya. Hal ini pulalah yang menyebabkan wabah kecanduan materi berkembang dari individu (mikrosistem) ke komunitas yang lebih luas (makrosistem). Inilah yang disebut sebagai kecanduan materi sebagai ’virus’ yang menyebarkan penyakit korupsi.
2.   struktural; yang dimaksud struktural disini adalah struktur organisasi suatu bangsa dan negara yang dikelola oleh pemerintah. Pengelolaannya ini diwujudkan dalam aturan-aturan atau birokrasi untuk tatanan masyarakat. Perilaku korupsi yang dimunculkan oleh kecanduan materi jika ditinjau dari sumber penyebab struktural adalah adanya contoh birokrasi yang berbelit atau sengaja dibuat berbelit untuk membuka peluang adanya korupsi-manipulasi. Rupanya struktural (baca: pemerintah) perlu menyadari adanya peluang birokrasi sebagai wadah menyalurkan ketagihan terhadap material. Adanya penyalahgunaan kekuasaan untuk pelaksanaan tender pengadaan, mekanisme birokrasi yang obesitas dalam mengurus kepentingan publik, ataupun pungutan-pungutan liar menunjukkan peluang untuk oknum-oknum aparat pemerintahan merasakan ketagihan materi. Praktek mafia birokrasi ini yang menyebabkan ’virus’ korupsi semakin merajalela.
Pendapat yang memperkuat cara penyebaran wabah korupsi ini berasal dari Richard Dawkins (2005) yang menyatakan bahwa penyebaran ini dipengaruhi oleh meme (baca: meim- Yunani). Meme adalah unit dalam pemikiran manusia yang bertugas untuk melakukan transmisi kultural. Unit ini semacam DNA pada manusia untuk membawa pesan atau informasi khusus, baik dari dalam maupun dari luar individu. Ketika individu mendapatkan semacam ’doktrin’ (keyakinan, pemikiran, ide, teori, kebiasaan, lagu, tari, mood, fashion dan segala macam stimulasi dari lingkungan)  maka meme ini yang bertugas untuk menyalurkan dalam kognisi manusia sekaligus berusaha mempertahankannya pada individu dengan carainternalisasi nilai-nilai).
Bahkan Richard Dawkins menambahkan bahwa meme ini bersifat dapat diturunkan secara genetis (selfish gene) bahkan dengan proses replikasi, ia mampu memperkuat eksistensinya dalam pemikiran manusia. Kondisi ini yang membuatnya oleh para ahli sebagai ’virus aktif’ yang mampu berkomunikasi dengan unit pada individu lain. Namun proses replikasi, genetis dan keaktifan meme dalam berkomunikasi ini tidak membuat kita pesimis untuk mengantisipasi penyebaran wabah penyakit korupsi. Kondisi ini disebabkan ia juga mampu dipengaruhi oleh lingkungan dan bermutasi sebagaimana sifat genetis biologis lainnya. Oleh karena itu, peranan lingkungan yang menjadi penyebab dan pengaruh bagi individu juga dapat dijadikan penangkal. Karena ’doktrin’ moral dan religiusitas pun dapat disebarkan dan diinternalisasi oleh meme.
Ketika bahasan tersebut dianalogikan dalam kasus Gayus maka sebenarnya kasus ini merupakan fenomena gunung es, sedikit muncul di permukaan tetapi lebih banyak yang tidak terungkap. Bahkan modus operandinya juga merupakan cara lama dan banyak digunakan oleh oknum-oknum birokrat. Dengan demikian, ’Gayus’ merupakan varian lama virus korupsi yang mudah menyebar di tengah masyarakat. Apalagi dengan ganjaran hukuman yang tidak setimpal, 7 tahun penjara, membuat melemahnya efek jera. Kondisi inilah yang menyebabkan masyarakat mempersepsikan bahwa korupsi merupakan tindakan yang wajar dilakukan. Sosok-sosok seperti Gayus memang ’virus’ korupsi, tetapi bukan penyebar penyakit korupsi. Sebab sebenarnya media penyebar penyakit korupsi ini adalah penegakan sistem keadilan negeri ini yang lemah. Seperti halnya, demam berdarah yang disebabkan oleh virus dengue maka nyamuk Aedes aegypti sebagai media penyebarannya. Mampukah hukum di negeri ini mencegah ’virus’ korupsi?

* Penulis adalah pemerhati sosial-politik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar