Selasa, 08 Februari 2011

DICARI: PEMIMPIN BERMORAL !


“Dicari: Pemimpin Bermoral!”Sebuah kalimat iklan lowongan yang lugas tetapi mengandung muatan sinisme. Secara eksplisit, lazimnya persyaratan utama dan pertama seorang calon pemimpin di Indonesia harus, “Warga Negara Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Persyaratan ini mempunyai pesan implisit pula bahwa orang yang bertakwa kepada Tuhan salah satu dimensinya adalah berMORAL. Sehingga kalau kalimat judul diatas dieksplisitkan dengan realita di Indonesia maka muncul pertanyaan, sudah tidak ada lagikah pemimpin yang bermoral di negeri ini?
Bertakwa kepada Tuhan mempunyai dua indikator, yaitu menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. Namun demikian tidaklah cukup bahwa ketakwaan hanya diwujudkan dalam dua hal tersebut. Takwa yang berasal kata dari bahasa Arab mempunyai pengertian taat dan takut. Takut tidak terhadap hukum manusia tetapi takut terhadap hukum Tuhan sebagai kekuasaan Tertinggi (The Highest Power). Takut di saat sendiri maupun takut di saat ramai orang. Kalau taat dan takut kita kepada Tuhan berasal dari kesadaran diri kita sendiri untuk mencari keselamatan dunia dan akhirat maka inilah yang disebut oleh Allport (pemikir Psikologi) sebagai agama yang intrinsik. Sebaliknya, agama ekstrinsik adalah cara seseorang ‘menggunakan’ agamnya untuk mencapai manfaat bagi diri sendiri, kepentingan sekular lainnya atau bahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang anti agama. Seperti misalnya, seorang diktator, koruptor dan mafia birokrasi yang membenarkan agamanya untuk melakukan tindakan amoral tersebut. Takut kepada ganjaran Tuhan inilah yang salah satu perwujudannya adalah moral. Meskipun beberapa ahli masih memperdebatkan kaitan antara agama dengan moralitas namun penulis mempunyai pandangan bahwa nilai-nilai agama merupakan determinan utama dalam pembentukan moral seseorang.

Indikator Orang Bermoral
Sebenarnya tidaklah terlalu sulit menentukan seseorang termasuk bermoral atau tidak. Pemahaman moral sendiri menurut Damon (1988) adalah aturan dalam berperilaku (code of conduct). Aturan tersebut berasal dari kesepakatan atau konsesus sosial yang bersifat universal. Moral yang bermuatan aturan universal tersebut bertujuan untuk pengembangan ke arah kepribadian yang positif (intrapersonal) dan hubungan manusia yang harmonis (interpersonal). Lebih lanjut, Nucci & Narvaes (2008) menyatakan bahwa moral merupakan faktor determinan atau penentu pembentukan karakter seseorang. Menurutnya, indikator manusia yang bermoral adalah:
(1)   Personal improvement (pengembangan kepribadian); yaitu individu yang mempunyai kepribadian yang teguh terhadap nilai atau aturan yang diinternalisasi dalam dirinya. Dengan demikian, ia tidak mudah goyah dengan pengaruh lingkungan sosial yang dianggapnya tidak sesuai dengan nilai atau aturan yang diinternalisasi tersebut. Ciri kepribadian tersebut secara kontemporer diistilahkan sebagai integritas. Individu yang mempunyai integritas yang tinggi terhadap nilai dan aturan yang dia junjung tidak akan melakukan tindakan amoral. Sebagai contoh, individu yang menjunjung tinggi nilai agamanya tidak akan terpengaruh oleh lingkungan sosial untuk turut melakukan korupsi-manipulasi dan praktek mafia birokrasi. Dengan demikian, nilai atau aturan yang diinternalisasikan tersebut menjadi ‘tameng’ bagi dirinya supaya tidak terpengaruh oleh perilaku sosial yang menyimpang dari aturan tersebut. Faktor intrinsik inilah yang dalam terminologi Islam disebut sebagai istiqomah (konsisten dengan ajaran Tuhan).
(2)   Social skill (kemampuan bersosialisasi); yaitu mempunyai kepekaan sosial yang tinggi sehingga mampu mengutamakan kepentingan orang lain. Hal ini ditunjukkan dengan hubungan sosialnya yang harmonis. Setiap nilai atau aturan universal tentunya akan mengarahkan manusia untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain dengan mengutamakan kepentingan orang banyak. Contohnya, individu yang religius pasti akan berbuat baik untuk orang lain atau mengutamakan kepentingan ummat. Orang yang mempunyai moralitas yang baik tentunya tidak akan egois, narsistik dan memperkaya diri sendiri dengan perilaku yang amoral seperti korupsi-manipulasi dan praktek mafia birokrasi. Dia akan lebih mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan orang lain maupun kepentingan generasi berikutnya. Orang yang bermoral cenderung akan mencari lingkungan sosial yang baik bagi perkembangan moralitasnya. Bahkan ketika ia berada di lingkungan sosial yang kurang bermoral maka moralitasnya tetap terjaga dan bersinar karena internalisasi nilai-nilai intrinsiknya tersebut. Dalam mengambil keputusan untuk kepentingan orang lain pun ia akan merujuk kepada nilai-nilai intrinsik tersebut. Inilah yang menyebabkan ia mampu mewarnai lingkungan sosialnya dengan sinaran moralitas dirinya. Dalam konteks Islam, faktor ini disebut sebagai muamallah (hubungan sosial yang baik).
(3)   Comprehensive problem solving (solusi yang kompleks); yaitu sejauhmana individu dapat mengatasi konflik dilematis antara pengaruh lingkungan sosial yang tidak sesuai dengan nilai atau aturan dengan integritas pribadinya terhadap nilai atau aturan tersebut. Dalam arti, individu mempunyai pemahaman terhadap tindakan orang lain (perspektif lain) yang menyimpang tetapi individu tersebut tetap mendasarkan keputusan, sikap dan tindakannya kepada nilai atau aturan yang telah diinternalisasikan dalam dirinya. Sebagai contoh, seseorang tidak mau mengikuti lingkungan sosialnya untuk korupsi karena ia tetap menjunjung tinggi nilai atau aturan yang berlaku (kejujuran). Meskipun sebenarnya ia mampu memahami penyebab perilaku orang lain yang korupsi. Keluwesan dalam berfikir dan memahami inilah dibutuhkan untuk menilai suatu perbuatan tersebut benar atau salah. Konsep ini yang disebut dalam terminologi Islam sebagai hikmah (mengambil pelajaran yang berharga dari perspektif yang berbeda).
Berdasarkan uraian tersebut maka jelaslah dinding pemisah antara orang yang bermoral, setengah bermoral dan tidak bermoral. Ketika seseorang dapat menjalankan ketiga indikator tersebut (istiqomah, muamallah dan hikmah) maka ia dapat digolongkan sebagai orang yang bermoral. Merujuk indikator konsistensi (istiqomah) dalam indikator tersebut maka hal ini berkaitan erat dengan nilai ketakwaan kepada Tuhan. Orang yang bertakwa tentunya takut kepada balasan Tuhan maka ia akan menginternalisasi nilai dan ajaran Tuhannya dalam setiap pemikiran, perasaan dan tindakannya, baik dalam keadaan ia bersendirian ataupun di depan orang lain.
Jika konsep moralitas tersebut dianalogikan kepada sosok pemimpin maka pemimpin yang bermoral adalah pemimpin yang mampu menjunjung tinggi nilai-nilai ketakwaannya dalam setiap pemikiran dan pengambilan keputusannya untuk kepentingan publik. Jika seorang pemimpin mengaku bermoral maka segala tindakannya diarahkan untuk kepentingan dan kesejahteraan sosial. Apabila kesejahteraan sosial menjadi tujuan utama pemimpin maka sang pemimpin tidak perlu lagi memoles diri dan bibirnya dengan urusan politik pencitraan. Sebab seorang pemimpin yang bermoral dan mengutamakan kepentingan sosial secara otomatis akan terangkat citranya di mata masyarakat dan dihadapan Tuhannya. Citra seorang pemimpin akan lebih terangkat lagi ketika ia mampu mengambil hikmah dari fenomena-fenomena amoral yang ditemui di masyarakat. Citra seorang pemimpin akan meningkat ketika ia mampu mengambil solusi yang tegas dalam menerapkan aturan untuk menentukan benar atau salah. Dengan demikian, secara tidak langsung moralitas pemimpin menjadi amunisi yang kuat untuk mendorong keberaniannya dalam menegakkan aturan dan tatanan nilai yang ada. Tentunya, seorang pemimpin akan berani menegakkan aturan ketika ia sendiri tidak melanggar aturan yang telah disepakati bersama. Hal inilah yang menjadikan seorang pemimpin wajib menjadi role model dalam penegakan aturan.
Refleksi bagi pemimpin dan calon pemimpin Indonesia adalah, “Sudahkah Anda mempunyai ketiga indikator pemimpin yang bermoral tersebut?” Dan refleksi bagi masyarakat Indonesia adalah, “Sudahkan Anda memilih pemimpin yang bermoral?” Serta yang terakhir bagi kita semua, “Adakah pemimpin yang bermoral di Indonesia saat ini?” Padahal dalam degradasi moral saat ini, kita tidak lagi membutuhkan pemimpin yang pintar dan kaya tetapi kita lebih membutuhkan pemimpin yang bermoral. Sehingga suatu saat kelak, judul iklan (baca: persuasi) diatas tidak akan lagi muncul sebagai sinisme.   
 * Penulis adalah pemerhati agama dan sosial-politik





Tidak ada komentar:

Posting Komentar