Selasa, 08 Februari 2011

AGAMA, KORUPSI DAN MAFIA BIROKRASI


“Negeri tersandera korupsi” adalah sandangan yang tepat untuk Indonesia saat ini. Tepat karena membuat kita bergidik dan mengevaluasi diri, sudah sedemikian parahkah korupsi dan manipulasi di negara kita tercinta ini? Bahkan pada awal tahun ini, beberapa media massa melansir bahwa hanya 5 provinsi dari 33 provinsi yang bersih dari korupsi yang melibatkan kepala daerah. Predikat 10 besar negara terkorup di dunia juga pernah disandang oleh Indonesia pada medio tahun 2009 lalu. Disisi lain, ada negara yang terkenal dengan kesadisan mafianya. Tengoklah mafia kriminal di Italia, mafia narkoba di Meksiko, dan mafia Yakuza di Jepang. Mafia-mafia inilah yang secara langsung membenarkan korban jiwa dengan kelompok yang tidak sefaham dengan cara kerja kelompok mafia. Namun ternyata Indonesia mempunyai ‘prestasi’ yang tak kalah dengan fenomena mafia di negara lain. Mafia di Indonesia jauh lebih menyengsarakan dan membunuh orang yang tak berdosa secara perlahan-lahan. Korban mafia ala Indonesia ini mampu membuat sengsara tujuh generasi karena kesenjangan ekonomi yang begitu mencolok sehingga serasa hidup segan mati tak mau. Inilah fenomena mafia birokasi di Indonesia, seperti mafia hukum, mafia pajak dan mafia politik. Mafia birokrasi inilah yang menjadi penyebab tindakan korupsi dan manipulasi di Indonesia semakin merajalela. Merujuk pengertian korupsi yang dikemukakan oleh Hogwood & Peter (1985) dalam bukunya The Pathology of Public Policy, korupsi merupakan perilaku yang termanifest dalam penggelapan dana atau materi yang seharusnya untuk kesejahteraan publik tetapi digunakan untuk memperkaya diri sendiri sehingga menimbulkan kerugian di pihak yang lebih luas. Oleh karena itu, kedua penulis buku tersebut menggolongkan korupsi sebagai pathologies of budgeting. Sedangkan manipulasi adalah publikasi terhadap kebijakan publik yang tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau golongan tertentu. Dengan demikian, tidaklah salah ketika publikasi hasil kebijakan publik tidak sesuai dengan realita maka hal ini disebut sebagai tindakan manipulasi (baca: kebohongan). Maka tidak salah pula, ketika tokoh-tokoh lintas agama menyerukan gerakan anti kebohongan publik, berperang melawan korupsi dan mafia birokrasi. Namun apa kaitan antara agama, yang digerakkan oleh tokoh-tokohnya, dengan urusan korupsi, manipulasi dan mafia birokrasi? Apa tendensi tokoh-tokoh agama itu?

Agama dan Konstruksi Sosial
Seorang pemikir dari Arab, Muhammad bin Abdullah as-Suhaym (2005) menyatakan bahwa agama, khususnya agama Islam, merupakan ajaran dalam konteks yang khusus dan universal-umum. Khusus karena agama mengatur ritual dalam beribadah (syari’ah), sekaligus bersifat universal-umum karena ajaran Islam telah mengatur semua aspek kehidupan manusia. Tidak ada satu aspek kehidupan manusia yang tidak diatur dalam ajaran Islam. Hal ini disebabkan karena fungsi agama sebagai pengatur kehidupan manusia supaya mendapatkan kesejahteraan dan keselamatan dalam menjalani kehidupan ini. Pernyataan ini senada dengan yang disampaikan oleh Paloutzian & Park (2005) bahwa agama merupakan keyakinan dogmatik yang memberikan petunjuk bagi bagi manusia untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan lahir dan batin, dunia dan akhirat. Dengan demikian, agama mengatur semua urusan dunia dan akhirat. Agama mengatur pengikutnya untuk bertindak sesuai dengan kaidah agama pada semua aspek, termasuk dalam hukum-peradilan, pendidikan, politik, pemerintahan dan hubungan sosial (muamallah) yang lain. Tujuannya adalah keselamatan pengikutnya sendiri dan kesejahteraan sosial pada umumnya.
Berdasarkan fungsi agama tersebut maka ciri-ciri orang atau suatu bangsa yang religius adalah: (a) mengamalkan semua ajaran Tuhan; (b) mempunyai pemaknaan diri yang baik sehingga mampu bertindak sesuai dengan kaidah ajaran agama; (c) mempunyai hubungan sosial yang baik dan memelihara alam; (d) meyakini adanya “hari depan”, yang dideskripsikan sebagai masa depan, kematian, alam kubur, hari berbangkit, surga dan neraka. Oleh karena itu, agama tidak hanya berfungsi sebagai aturan ritual dalam menyembah Tuhan saja. Akan tetapi agama mempunyai makna dan fungsi yang lebih luas. Berkaitan dengan hal itu maka agama pun mempunyai peranan penting dalam tatanan kehidupan masyarakat, seperti dalam bidang hukum, politik dan pemerintahan. Secara universal, semua agama melarang tindakan yang merugikan orang lain, termasuk korupsi-manipulasi dan mafia birokrasi. Agama mempunyai otorita kepada pengikutnya (terutama yang menyatakan dirinya “beragama”), agar pengikutnya tersebut tidak melakukan korupsi, manipulasi (kebohongan) dan mafia birokrasi. Selain karena merugikan kepentingan umat, semua tindakan tersebut bukan merupakan tindakan yang selamat dunia dan akhirat. Maka tidak mengherankan jika tokoh-tokoh agama menyerukan untuk melawan semua tindakan pelanggaran tersebut. Sebagai tokoh yang dikaruniai oleh Tuhan kemampuan berfikir kritis (rausyanfikr) maka sudah selayaknya jika tokoh lintas agama memberikan warna keseimbangan berupa peringatan (fatwa) agar umat melawan korupsi-manipulasi dan mafia birokrasi. Tokoh agama mempunyai kewajiban sebagai pemimpin umat agar kembali kepada ajaran yang selamat. Peranan tokoh agama (ulama) ini telah sesuai dengan yang digariskan oleh Islam sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang bermakna, “Ada dua golongan dari umatku, yang bila keduanya baik dan saleh maka baiklah semua manusianya, yaitu ‘umara (penguasa) dan fuqaha (ulama).” (Hadits Riwayat Abu Naim). Maka tokoh-tokoh agama yang menyerukan anti kebohongan publik, korupsi-manipulasi dan mafia birokrasi hanya mempunyai tendensi untuk perbaikan kesejahteraan umat. Hal ini sebagaimana tugas yang diemban oleh ulama sebagai pemimpin umat yang harus memperjuangkan keselamatan dan kesejahteraan umat. Sekaligus sebagai figur teladan dalam mengedapankan moralitas dalam menghadapi fenomena sosial.  
Kritisi tokoh agama (ulama) terhadap umara (pemerintah) merupakan penyeimbang dalam melakukan perbaikan sosial demi kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, sudah seyogyanya pemerintah menyambut baik kritik dan nasehat tersebut demi tatanan sosial yang lebih baik. Bahkan sudah saatnya para ulama Indonesia mengeluarkan fatwa untuk berjihad melawan korupsi-manipulasi dan mafia birokrasi. Jihad bukan dalam arti pengertian yang sempit dengan menumpahkan darah tetapi jihad yang bermakna memerangi angkara murka atau kebathilan. Dan jihad yang paling besar adalah melawan angkara murka dari nafsu manusia itu sendiri. Oleh karena itu, jihad melawan korupsi-manipulasi ini harus dimulai dari diri sendiri sebagai mikrosistem dan berlanjut dengan perbaikan makrosistem.
Ciri orang atau suatu bangsa yang religius telah dibahas sebelumnya. Dua ciri religiusitas yang paling mendasar adalah hubungan sosial dan meyakini “hari depan”. Korupsi-manipulasi dan mafia birokrasi dalam bentuk apapun akan merugikan kepentingan orang lain dengan skala yang luas. Dengan demikian, koruptor dan mafia birokrasi telah menunjukkan bukan ciri mahluk yang religius. Apalagi, seorang koruptor dan mafia birokrasi tentunya tidak akan mempertimbangkan “hari depan” sebab mereka tidak memandang masa depan generasi berikutnya. Bahkan mereka tidak akan memikirkan hukuman dan ganjaran dari Tuhan mengenai perilakunya tersebut. Oleh karena itu, koruptor bukan saja disebut orang yang tidak religius tetapi juga tidak meyakini adanya Tuhan dan segala kuasaNya (atheis). Merujuk ciri religiusitas tersebut marilah kita mengevaluasi diri apakah bangsa ini masih layak disebut sebagai bangsa yang religius?
Menutup ulasan ini, penulis ingin mempersembahkan cuplikan pidato Presiden Soekarno; ”Wahai para pemuda, Ibu pertiwi ini mempunyai konde...yang harus engkau hiasi dengan bunga. Jikalau engkau punya bunga mawar, sumbangkanlah bunga mawar kepada kondenya ibu pertiwi. Jikalau engkau punya bunga melati, hiaskanlah bunga melati kepada kondenya ibu pertiwi. Hiasilah, sumbangkanlah, berikanlah bunga-bungamu kepada konde ibu pertiwi.(Cuplikan Pidato Bung Karno pada peringatan Sumpah Pemuda, Jakarta, 28 Oktober 1956). Ini merupakan pesan agar kita memberikan yang terbaik bagi bangsa ini dan bukan sebaliknya, mencabuti, menggerogoti dan menghancurkan bunga-bunga hiasan konde Ibu pertiwi.

* Penulis adalah pemerhati agama dan sosial-politik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar